"I have no greater joy than to hear that my children are walking in the truth." 3 John 1:4


Belajar Menjadi Ayah

Alamiah atau Bersengaja?

Untuk menjadi seseorang yang ahli di bidang tertentu, umumnya jalur yang ditempuh adalah dengan bersekolah. Entah menjadi dokter, guru, pengacara atau pendeta sekalipun.  Bersekolah dipandang cukup mewakili standar kemampuan yang diharapkan dari profesi yang disebutkan sebelumnya. Bagaimana dengan menjadi ayah?  Sayangnya untuk menjadi ayah tidak ada sekolahnya.  Dan memang tidak ada sekolah khusus untuk menjadi ayah.  Mungkin banyak orang berpikir bahwa untuk menjadi ayah bermula dari insting, yang kemudian diperkuat dari pengalaman belajar di tengah keluarga.


Pandangan ini seolah diperkuat dengan pepatah, “pengalaman adalah guru yang baik”.  Jadi kalau mau menjadi baik, maka milikilah pengalaman.  Pertanyaannya, apakah setiap pengalaman otomatis akan menjadi menjadi guru yang baik?  Artinya, bila dikaitkan dengan harapan menjadi ayah, apakah dengan bermodal insting dan pengalaman melihat keluarga, maka seseorang otomatis akan menjadi ayah?  Pengalaman hanya akan menjadi guru yang baik, ketika yang mengalaminya benar-benar mau belajar dari pengalaman tersebut. 


Belajar yang dimaksud adalah adanya kesediaan mengalami perubahan pola pikir dan pola laku.  Demikian juga untuk menjadi ayah, tidak bisa mengandalkan pengalaman alamiah sebagai anak, atau sekadar melihat ayah orang lain, lalu spontan berpikir akan mampu menjadi ayah.  Pengalaman yang baik belum tentu bisa dilakukan, apalagi hal yang sebaliknya. Di sisi lain, sebaik apapun pengalaman tetap menyisakan jarak antara harapan dan kenyataan. Untuk menjadi ayah bukan keputusan alamiah, melainkan bersengaja untuk memahami dan melakukan hal-hal yang baik sebagai ayah dalam relasi bersama keluarga.


Tipe Ayah

Cukup menarik memperhatikan komentar berikut, “Saya tidak tahu dimana papa sekarang! Mama bilang, papa pergi”, kata seorang remaja menceritakan papanya. Remaja lain berkata “Terakhir bicara dengan papa waktu pandemi.  Selebihnya papa tidak tinggal lagi bersama kami, meski masih mengirim uang bulanan”.  Sebaliknya, ada remaja yang berpendapat, “Aku deket kok sama papa. Banyak hal yang aku nikmati bersama papa”.  Berangkat dari komentar di atas, minimal ada 2 tipe ayah.


Pertama, ayah biologis. Pada masa sekarang diakui atau tidak, banyak ayah yang tidak banyak tahu tentang anaknya. Sejak lahir, ayah tidak pernah terlibat langsung dengan persoalan anak. Baginya yang penting punya anak. Selebihnya, pengasuhan dan pendampingan menjadi urusan mama/istri atau pengasuh.  Kalau pun tidur sekamar, ayah merasa terlalu repot untuk menolong anak, khususnya bila malam nangis. Seringnya anak malah tidur dan dijaga pengasuh supaya ayah bisa istirahat karena capek kerja. Urusan ayah fokus pada pekerjaan atau urusan luar rumah.  Tipe yang seperti ini adalah ayah biologis.


Ayah kehilangan momen membangun kedekatan perasaaan melalui kedekatan fisik sejak anak kecil.  Akibatnya, ayah tidak cukup mengenal pribadi dan perasaan anak. Kondisi demikian bukan tidak mungkin terjadi sampai masa remaja.  Pola asuh ayah biologis membuat anak kehilangan kesempatan menerima kasih sayang ayah. Anak juga merasa tidak mudah menerima dan memahami apa yang dikehendaki ayahnya. Seolah ada tembok penghalang dari sisi rasa antara ayah dan anak. Wajar bila ayah dan anak mudah tersinggung untuk persoalan-persoalan kecil dalam komunikasi mereka. Kerenggangan relasi berdampak juga pada pembentukan kepribadian anak, khususnya dimensi kekuatan, kedewasan dan ketegasan yang umumnya diajarkan ayah.  Pada kondisi ini, anak kurang mempunyai daya tahan yang cukup dalam menghadapi tantangan lingkungan. Emosi anak menjadi kurang stabil dan seolah tidak mempunyai pegangan ketika berargumentasi. Keterlepasan emosional ini berpotensi besar menciptakan masalah dalam relasi.  


Kedua, Ayah berkebutuhan. Spons adalah entitas yang kering dan berkemampuan menarik air di sekitarnya dan sebaliknya bisa cepat kering begitu ditekan.Penggambaran seperti spons mewakili perilaku ayah yang mendasarkan tindakannya pada pemenuhan kebutuhan masa lalu. Ayah yang mempunyai ruang kosong di masa lalu, biasanya gampang merasa tidak dihargai dan membutuhkan penghargaan yang besar. Perilaku yang muncul ia akan meminta, menuntut atau mengarahkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan itu. Bila kebutuhan itu tidak terpenuhi, ia akan mudah tersinggung dan emosional. Salah satu sumber pemenuhannya adalah dari para anggota keluarga. Perilaku yang tampak dalam relasi dengan orang lain, termasuk anak seolah tidak ada masalah. Namun motif dibalik komunikasi, sebenarnya dimaksudkan untuk memuaskan dirinya.  


Seorang ayah bisa sangat baik karena dia ingin anaknya seperti dirinya. Dia akan memberi instruksi atau mengarahkan anak menurut caranya sendiri.  Dia mudah marah bila anak tidak mengikuti perintah. Anak yang dituntut untuk memenuhi kebutuhan orangtua, seringkali menjadi anak yang dari luar tampak matang namun sesungguhnya kosong dan rapuh di dalam. Tidak jarang anak juga mengalami gangguan relasi dengan teman, sebab ia membawa kencenderungan menuntut orang lain memenuhi kebutuhannya.  Salah satu gangguan yang kerap dialami anak adalah munculnya rasa bersalah yang berlebihan.


Sebenaranya masih ada beberapa tipe ayah, namun dua tipe dalam penjelasan di atas menegaskan betapa banyak pria dewasa yang tidak siap menjadi ayah dalam pernikahan mereka. Ayah dipahami sebatas sebagai pencari nafkah yang enggan diganggu dengan urusan rumahtangga. Ketidaksiapan ini berdampak bukan hanya dalam relasi dengan pasangan, tetapi juga dengan anak. Ayah menyalahkan ibu yang dianggap kurang berperan bagi anak, tanpa mampu mengoreksi kehadiran serta fungsi dia sebagai ayah yang selama ini juga abai terhadap anak.  Besar kemungkinan akan ada penyesalam dalam diri anak;  seolah kehadirannya membawa persoalan bagi kehidupan orangtuanya


Pengasuhan Ayah

Ayah bukan sekadar dipahami sebagai posisi tapi juga fungsi.  Makna “posisi” menegaskan tentang kehadirannya dalam kehidupan anak.  Ayah yang jarang ada akan memengaruhi kepribadian anak.  Siapa yang jadi role model?  Kualitas keteladanan ayah ditentukan dari seberapa banyak hadir, terlebih di moment-momen khusus dalam hidup anak.  Itu sebabnya, “fungsi” mengedepankan makna tentang apa yang harus dilakukan ayah dalam kehadirannya bagi anak.  Jadi pengasuhan ayah identik dengan kehadirannya yang berfungsi, atau memberi dampak baik dalam kehidupan anak. Tidak mungkin menjalankan tanggungjawab panggilannya sebagai ayah bila ia tidak hadir.  Sebaliknya, kehadiran ayah akan menjadi sia-sia, bila ia tidak mengerjakan apa yang sepatutnya diterima baik oleh anak.


Pengasuhan merupakan tindakan yang didasarkan pada kasih, kerelaan berkorban, kesediaan melindungi, komitmen memenuhi kebutuhan anak dan membangun keteladanan yang konsisten. Lima dimensi pengasuhan bukan hanya melekat pada ibu, tetapi juga merupakan tugas panggilan bagi ayah.  Kelima dimensi pengasuhan tersebut tidak bisa dipisahkan atau dipilih. Seolah yang satu lebih diusahakan dibanding yang lain. Bila mengabaikan satu dimensi jelas akan berdampak atau berkontradiktif kualitas dimensi yang lain.  Misalnya, bagaimana mungkin seorang ayah berani mengaku mengasihi anak tapi tidak melindunginya? Atau mungkinkah keteladanan ayah dibangun tanpa ia memiliki kasih kepada anak?  Jadi semuanya sepaket dalam satu tindakan kebapakan ayah kepada anak.


Berikut tiga hal pengasuhan yang bisa dilakukan ayah dalam membangun hubungan bersama anak. Pertama, mengajar anak bicara.  mumnya, ayah dipahami banyak kerja dibanding bicara. Hanya di momen-momen tertentu saja baru bicara. Pandangan ini menempatkan ayah sebagai pribadi yang pendiam, berjarak dan tidak mampu membangun komunikasi dengan anak. Seolah berbeda peran dan fungsinya dengan ibu.  Pandangan ini berbeda dengan makna pengasuhan sebagaimana dijelaskan di atas.  Pengasuhan ayah kepada anak tidak lepas dari komunikasi intens.


Pertama, Ayah perlu memberi waktu dan hati untuk berbicara dengan anak. Tujuannya supaya ayah dan anak bisa saling paham. Berbicara yang dimaksud bukan dalam arti memberi instruksi atau perintah, tetapi memulai percakapan yang saling membangun melalui pertanyaan terarah. Bukan untuk menyelidik tapi menggali pengalaman anak.  Misalnya, “Bagaimana pengalamanmu di sekolah hari ini?” atau “Hal-hal apa yang membuat kamu tidak sependapat?”. Hal yang menjadi fokus adalah membangun kebersamaan melalui komunikasi yang membangun.


Kedua, mengajar anak mengambil keputusan. “Papa saya dulu mendidik dengan cara seperti ini, dan buktinya saya bisa,” jawab seorang ayah.  Seringkali ayah terjebak dengan cara berpikirnya bahwa apa yang dia pikirkan bisa, yang terjadi demikian juga dengan anaknya. Belajar mengambil keputusan bukan soal hasil akhirnya, tetapi lebih kepada prosesnya. Misalnya, ayah dapat mengambil waktu dengan anak untuk membeli sesuatu. Sepanjang perjalanan, ayah dapat mencerikan apa dan mengapa barang tersebut dibeli. Libatkan anak dalam percakapan dengan cara menanyakan pendapatnya.


“Masak untuk makan roti saja, harus bertanya boleh atau tidak.  Mestinya kan tau harusnya apa?”, komentar seorang ayah. Seringkali ayah tidak sabar menunggu keputusan anak, bahkan mempertanyakannya alasan anak. Pertanyaan tersebut sebenarnya mencerminkan keinginan anak untuk berkomunikasi dengan ayahnya. Sayangnya, ayah tidak sabar dengan proses dan terkesan meremehkan pertanyaan yang diajukan. Alhasil anak makin tidak punya keberanian berinisiatif dan takut salah dalam mengambil keputusan. Ayah sebagai orangtua mestinya belajar menerima proses kesalahan dengan cara mendorong anak untuk tetap maju.  


Ketiga, mengajar anak siap dengan resiko dari keputusan. Wajar bila anak takut gagal karena sebagai pribadi ia tidak cukup pengalaman yang menopang keberaniannya. Takut disalahkan bisa juga menjadi alasan dia tidak siap terima resiko.  Itu sebabnya, ayah perlu menjelaskan resiko-resiko yang mungkin.  Bukan untuk menakuti atau menurunkan nyali anak.  Sebaliknya membuka kesadaran dan kesiapan anak menghadapi resiko. Maka anak perlu mendapatkan dorongan dari ayahnya untuk belajar mengambil resiko. Sebaliknya ayah jangan sampai terlalu cepat menyampaikan kritik, evaluasi atau menjatuhkan anak melalui kata-kata.  Ingat, tantangan yang tampaknya sederhana bagi kita, belum tentu demikian bagi anak.  Melalui menghargai perjuangannya dengan cara memberi ruang bagi perasaannya akan menyiapkan mental anak menghadapi resiko.


Salah satu kesiapan mental adalah keseimbangan emosi. Anak tidak mudah patah arang, tersinggung atau emosional. Peran ayah yang tidak emosional dalam mengasuh anak, akan menjadi pola bagi anak ketika menghadapi persoalan. Anak tetap punya semangat meski gagal. Anak tidak mudah tersinggung ketika ada yang meremehkan dia dan tetap mampu mengontrol emosi dalam situasi terburuk sekalipun. Keteladanan ayah menghadapi resiko keputusan akan mengajarkan kepada anak untuk tetap mengutamakan karakter mulia melalui perkataan dan sikap kerja yang baik.


Penutup

Pengasuhan ayah kepada anak mungkin bukan hal yang populer.  Banyak yang masih beranggapan terlalu feminis bila ayah terlibat dalam pengasuhan. Persoalannya bukan lagi pada ayah atau ibu, tetapi pada bagaimana menyiapkan dan membangun generasi yang lebih kuat di masa depan. Tugas ini tidak mungkin dijalankan satu orang. Ayah pun wajar terlibat, sebab belajar menjadi ayah merupakan wujud respons ayah memenuhi panggilan Tuhan di tengah keluarganya.


Oleh: MSCS SSS Team (Student Support Services)




 

Back to News & Events

NEWS & EVENTS