By Cornellius Axel (SSS)


Pujian Akan Membangun Kepercayaan Diri atau Menjatuhkan? (Toxic Positivity)

“Wah, gapapa kok gak menang, itu tadi penampilan kamu sudah bagus, udah ya jangan nangis lagi, cup… cup… cup…” Kata-kata seperti ini mungkin pernah kita dengar atau kita ucapkan kepada anak-anak kita. Ketika anak-anak sedang sedih atau gagal atau merasa sakit, kita pasti bermaksud menghibur sehingga mereka terhindar dari perasaan tidak happy itu. Ternyata, meskipun kita bermaksud menghibur dan memuji, kebiasaan ini bisa berpengaruh terhadap pengenalan dan penerimaan anak-anak terhadap perasaan-perasaan tidak nyaman yang muncul dalam diri mereka sendiri seperti rasa sedih, rasa takut, rasa sakit, dan masih banyak lagi.


Mengenal apa itu Toxic Positivity

Toxic positivity adalah sikap atau pola pikir yang secara konsisten berpikir secara positif dan mengelak semua perasaan negatif lainnya, seperti sedih, marah, atau takut. Hal yang membedakan toxic positivity dengan berpikir optimis yang baik adalah toxic positivity memandang semua pengalaman hanya “sisi baiknya” saja dan menolak atau bahkan menghilangkan segala emosi yang lain, khususnya yang negatif. Betul bahwa kita tidak boleh patah semangat dan terlarut bersedih ketika mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan, namun pengenalan & penerimaan sejenak akan perasaan sedih penting untuk mengetahui bantuan atau hala apa yang dibutuhkan untuk mengatasi penyebab sedih tersebut. Sikap atau mindset toxic positivity ini dapat dikenali dari ciri-ciri berikut:

  • Merasa bersalah/malu atau mengkritik orang lain ketika muncul perasaan sedih atau marah

  • Menyembunyikan perasaan-perasaan negatif atau bahkan metutupi dengan ekspresi yang positif (tertawa atau tersenyum namun sebenarnya sedang sedih)

  • Mengabaikan perasaan sedih atau negatif yang ditunjukkan orang lain

  • Cenderung mengabaikan masalah yang sedang dihadapi


Beberapa Contoh Toxic Positivity

Ketika anak-anak dalam permainan dan kalah, kita mungkin bermaksud beri pengertian seperti, “Ayo jangan sedih, jangan nangis, itu kan cuma permainan saja.”


Atau ketika dia kalah dalam sebuah perlombaan, kita coba hibur dengan pujian seperti, “Gak papa gak menang, kan hasil gambarnya juga sudah bagus banget, sudah ya gak usah sedih”


Atau ketika kita mau beri pujian ketika dia berhasil tidak menunjukan emosi yang negatif seperti, “Ayo, anak pinter jangan nangis ya, kan cuma jatuh dikit.”


Sikap-sikap seperti ini membiasakan anak untuk tidak menerima, tidak menunjukan, bahkan cenderung menyembunyikan perasaan yang tidak nyaman. Larut dalam perasaan sedih memang tidak baik, tapi kita perlu membantu anak untuk mengenal macam-macam perasaan yang anak-anak rasakan. Pembiasaan ini dapat membantu anak-anak untuk belajar mengekspresikan perasaannya secara verbal dan menjadi lebih terbuka. Adanya sikap ini akan membuat kita lebih mudah untuk memberikan support yang sesuai dengan kebutuhan yang sedang mereka hadapi.


Dampak dari Toxic Positivity

  • Menimbulkan rasa rendah diri

Ketika anak-anak merasa sedih, marah, atau takut dan kita ajarkan bahwa tidak baik untuk memiliki perasaan itu (baik secara langsung maupun dengan memaksakan respon yang seharusnya mereka tunjukan), mereka akan merasa bersalah ketika memiliki perasaan itu. Padahal, perasaan negatif juga adalah perasaan otentik dari manusia.


  • Menjadi kurang peka dengan diri sendiri dan orang lain

Anak-anak yang mengenal bahwa perasaan tidak nyaman itu tidak baik akan cenderung mengabaikan dan kurang peka dengan orang lain yang sedang merasakan perasaan tersebut. Mereka tidak dapat menunjukan respon yang sesuai ketika ada orang yang menunjukan emosi yang tidak nyaman. Selain itu, mereka menjadi kurang peka dengan perasaannya sendiri karena terbiasa menutupi atau mengabaikan perasaan-perasaan tidak nyaman itu.


  • Menghambat pertumbuhan karakter

Perasaan tidak nyaman perlu diselesaikan. Perasaan tidak nyaman juga bisa menjadi sumber motivasi untuk pertumbuhan. Misalnya, ketika anak gagal mendapat nilai jelek dan dia menjadi sedih, dia akan berusaha belajar lebih giat agar tidak sedih ketika mendapat nilai yang jelek kembali. Pertumbuhan karakter juga didukung dengan penyelesaian dari perasaan tidak nyaman tersebut. Untuk itu, penting untuk mereka bisa menyadari dan mengenali perasaan tidak nyaman itu sehingga dapat belajar menerima, mencari solusi, dan menyelesaikan perasaan kurang menyenangkan tersebut.


Apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua?

  • Ajarkan anak untuk menceritakan perasaannya

Langkah pertama yang bisa kita ajarkan ke anak-anak adalah dengan lebih terbuka dengan perasaan tidak nyaman yang mereka alami. Ajak anak-anak untuk menceritakan apa yang mereka rasakan, kenalkan mereka untuk membedakan macam-macam perasaan. Apakah itu marah, sedih, senang, bahagia, takut, atau bersemangat, ajak mereka untuk menceritakannya sehingga mereka terbiasa untuk mengenali berbagai macam perasaan yang mereka alami. Langkah ini juga membantu mereka untuk dapat menolong diri dengan tepat ketika sudah mengenali perasaannya.


  • Dengarkan apa yang mereka bagikan tentang perasaannya

Perasaan yang dibagikan anak kepada kita perlu kita pahami dan kita terima. Jangan hambat atau batasi mereka dengan toxic positivity. Kita bisa lebih terbuka dan mendengarkan apa yang mereka bagikan. Coba tanya lebih dalam untuk membantu kita mengenali perasaan apa yang sebenarnya sedang anak hadapi. Hindari juga pujian yang diberikan bersamaan dengan pernyataan yang menekan perasaan tidak nyaman yang sedang dialami anak-anak. Beberapa pemilihan kata ini bisa kita gunakan:

sumber: verywellmind.com


  • Latih mereka untuk kontrol emosi mereka

Perasaan tidak nyaman yang mereka rasakan tidak cukup hanya dikenalkan dan diakui. Tenggelam dalam emosi tidak nyaman yang berlarut-larut juga tidak baik. Oleh karena itu kita bantu kenalkan anak-anak untuk bagaimana mengendalikannya. Misalnya, ketika marah, ajarkan anak-anak untuk menenangkan dirinya, mengatur nafas, tidak berteriak-teriak dan menceritakannya secara lisan dengan sopan atau tertulis. Perasaan marah itu wajar dan perlu kita kenali dan terima, namun ekspresi dari marah itu yang perlu kita kendalikan.




 

Back to News & Events

NEWS & EVENTS