Young Children come to see themselves through the eyes of their parents.
The way you speak to her is the way she speaks to herself
- Rebecca Eanes and Laura ling -

A Love That Makes Us Strong

20 July 2020, Me and My God

“Eh, kamu cocok banget lho pakai kaos putih. Jadi kelihatan lebih fresh”, ujar saya pada seorang anak muda. Ia nampak tersipu malu mendengar perkataan saya tersebut. Semenjak itu, anak muda tersebut sangat sering memakai kaos putih ketika pergi hang out dengan teman-temannya.

Ketika melihat hal tersebut, saya berkata dalam hati saya, “Wow… sebegitu besar ya dampak pujian sederhana yang saya ucapkan. Hmmm… kapan ya (sebelum kejadian tersebut) terakhir kali saya memuji orang lain? Kalau melihat orang lain do something good, apakah saya bersikap murah hati dalam memberi pujian atau saya diam saja, mengagumi/feel amaze dalam hati dan memperbincangkan kekerenannya di belakangnya?”

Kapan terakhir kali kita memuji anak kita?

Memeluk mereka meski hanya 10-15 detik?

Atau menyediakan waktu untuk “personal date” atau bermain game dengan mereka?

Atau sekedar pulang sambil membawa kejutan berupa snack kesukaan mereka?

Banyak orang bilang, Indonesia adalah salah satu negara yang sebagian besar orangnya merasa tabu untuk mengekspresikan kasih secara langsung kepada orang lain. Hal ini bahkan terjadi di lingkungan terdekat yaitu keluarga, termasuk di dalam keluarga inti saya sendiri. Lantas apa pentingnya mengekspresikan kasih? Toh, selama ini nenek moyang kita tetap dapat hidup sehat, aman dan sejahtera di dalam ketabuan mereka meng-ekspresikan kasih?

Beberapa penelitian menunjukkan ada begitu banyak alasan dan manfaat penting di balik tindakan kita memberi dan mengekspresikan kasih kepada anak. Sally I. Maximo & Jennifer S. Carranza melakukan survei kepada 843 orang di Filipina tentang keterkaitan antara kasih yang dirasakan dan resiliensi pada anak. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa rasa dikasihi dan rasa aman yang diterima anak dari orang tua membuat anak memiliki level resiliensi yang lebih tinggi dalam menjalani tantangan di perkuliahan.

Ada 3 bentuk bahasa kasih yang berpengaruh paling siginifikan bagi terbentuknya resiliensi pada anak, berikut urutannya: Quality time, words of affirmation dan acts of service. Hasil survei juga menunjukkan bahwa ekspresi kasih berupa quality time dengan ayah dan sentuhan kasih secara fisik dari ibu sangatlah penting bagi anak laki-laki. Sedangkan bagi anak perempuan, quality time dengan ibu dan words of affirmation dari ayah adalah hal yang dirasa penting bagi mereka.

Ternyata, ketabuan mengekspresikan kasih dalam keluarga perlu dihancurkan karena ekspresi kasih orang tua pada anak sangat berperan penting bagi terbentuknya resiliensi dalam diri anak kita. Hal ini juga mengingat resiliensi sangat penting dimiliki oleh anak kita sebagai bekal mereka dalam menghadapi beragam tantangan hidup.

Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh Fuller, McGraw, & Goodyear di tahun 1999 juga menunjukkan bahwa adanya keterikatan hubungan, merasa dihargai, dimiliki dan dikasihi oleh orang tua mampu menghindarkan anak dari perilaku-perilaku yang berbahaya seperti bunuh diri, kekerasan dan penyalahgunaan zat terlarang.

Segala yang timbul dalam perilaku/tindakan manusia itu berasal dari dalam hatinya, hal ini seperti yang tertulis dalam kitab Markus 7:21 dan Matius 15:19. Hal-hal apa saja yang mengisi dan memenuhi hati anak kita, maka itu pula yang akan muncul dalam perilaku/tindakan anak kita.

Oleh karena itu, bila rasa dihargai dan dikasihi adalah hal yang dirasakan penuh di dalam diri anak kita, maka hal yang akan muncul adalah perilaku/tindakan yang mencerminkan kasih. Mengapa keluarga memiliki peran terkuat dalam mengisi hati anak? Karena keluarga adalah lingkungan sosial pertama dan terdekat bagi anak.

Hal-hal yang mengisi & memenuhi hati anak di masa krusial hidupnya (usia 1-5 tahun) untuk pertama kalinya adalah keluarga. Jadi, apakah kita sudah menjadi orang tua yang mengisi dan memenuhi hati anak kita dengan kasih? Ternyata, ekspresi kasih orang tua pada anak sangat berperan penting untuk mengisi & memenuhi hati anak dengan kasih, yang membuat anak akhirnya dapat mencerminkan kasih pula dalam perilaku/tindakannya sehari-hari.

Lantas ekspresi kasih yang seperti apa yang tepat kita berikan pada anak?

Ekpresi kasih yang tidak egois alias selfless.

Setiap orang memiliki bahasa kasih yang berbeda-beda. Menurut Gary Chapman ada 5 macam bahasa kasih yaitu:

  1. Words of affirmation: Pujian atau encouragement words, misalnya “Good job!”.
  2. Acts of service: Melayani, misalnya: Membuatkan sarapan.
  3. Quality time: Menyediakan waktu untuk berinteraksi bersama, misalnya: Main game bersama.
  4. Gift: Memberikan hadiah, misalnya: Memberi kejutan dengan membelikan makanan favorit.
  5. Physical touch: Sentuh fisikan, misalnya: Pelukan, tepukan di bahu, jabat tangan, ciuman.

Hal yang perlu disadari adalah setiap orang dalam keluarga memiliki bentuk bahasa kasih yang beragam, sekalipun bisa jadi memiliki kesamaan. Keberagaman ini perlu dikenali oleh orang tua dan anak. Hal ini dikarenakan kasih hanya akan sampai dan terasa di hati orang lain ketika kita mengasihi orang tersebut sesuai dengan bahasa kasihnya, bukan sesuai bahasa kasih kita.

Seumpama kita suka kue coklat, namun anak kita suka kue stroberi. Kita memiliki kecenderungan untuk mengasihi orang lain dengan cara/bahasa kasih kita sendiri. Mengapa? Karena itu membuat kita merasa dikasihi dan kita berpikir bahwa cara yang sama akan berlaku pula bagi orang lain. Padahal, bila memberikan kue coklat pada anak kita, ia tidak akan jauh lebih bahagia bila kita memberinya kue stroberi, yang ia sukai.

Oleh sebab itulah, hal penting yang perlu ditanamkan di dalam diri, ketika mengasihi orang lain, termasuk anak kita adalah mengasihi dengan selfless, mengasihi sesuai dengan bahasa kasihnya yang membuat ia merasa dikasihi. Mengapa demikian? Karena “mengasihi” adalah sebuah kata kerja yang kita tujukan pada suatu “objek kasih” tertentu, yang dalam hal ini adalah anak kita.

Hal tersebut artinya adalah mengasihi selalu fokus berbicara tentang “dia atau kamu” (orang yang kita kasihi), bukan tentang “aku atau saya” (egois). Jadi, apakah kita sudah memahami dan mengasihi anak kita sesuai dengan bahasa kasih mereka?

Kita bisa mengenalinya dengan melakukan observasi dalam keseharian berupa melakukan 5 macam bahasa kasih yang ada pada anak dan melihat yang mana yang mendatangkan respon yang paling membuatnya senang. Kita juga bisa mengenalinya dengan meminta anak mengisi kuesioner atau kuis kecil tentang tes bahasa kasih yang ada di internet, salah satunya bisa dapat dicoba dari link berikut ini:

https://www.5lovelanguages.com/quizzes/

Ada 3 hal yang dapat coba kita lakukan untuk menunjukkan kasih kita kepada anak:

  1. Hadirlah sepenuhnya dalam kehidupan anak. Be available for them physically, emotionally & spiritually.
  2. Berikan afirmasi positif atau pujian atau encouragement words pada anak.
  3. Pahami dan cukupi kebutuhan fisik, emosi dan rohani anak.

Last but not least,

Kita tidak bisa memberikan sesuatu hal yang tidak kita miliki kepada orang lain. Seumpama kita tidak bisa berbagi coklat yang tidak kita miliki kepada orang lain. Kita hanya bisa berbagi permen yang sedang kita miliki kepada mereka.

Begitu pula dengan kasih. Kita tidak bisa memberikan kasih pada anak ketika kita tidak memilki kasih itu di dalam hati kita. Jadi, sebelum memberikan kasih pada mereka, mari bertanya pada diri kita masing-masing, “Do I have LOVE in my heart?”.

And all that I know… there is only 1 that can fulfill & overwhelmed our heart with love: GOD.

Ketika kita benar-benar menghidupi Tuhan dalam hidup kita, maka Tuhan, Sang Kasih itu sendiri akan membuat hati kita terus meluap dengan kasih, sehingga kita tak perlu lagi khawatir kekurangan kasih dan tak perlu khawatir tak bisa membagikan kasih pada siapapun, khususnya kepada anak kita.

Loves God wholly will create loving parents.

Loving parents will give an unconditional love to the children.

And a loved children will raise with a strong resilience.

 

So, we may conclude that God’s love is the source of our resilience.

He is the love that makes us strong.

 

“Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih”. (1 Yohanes 4:8).

 

 

(Student Support Service, Juli 2020)