Replace a goal of obedience with one of connection and trust instead.
Children are drawn to follow those to whom they are emotionally connected.
By parenting not for obedience but for relationship, kids are naturally inclined to follow your lead
- Kelly Bartlett -

Hukum Kasih Hukum Yang Terutama

03 August 2021, Me and Myself

     Kita tentunya sudah sangat tidak asing dengan kisah seorang ahli taurat yang bertanya kepada Yesus tentang hukum yang paling utama. Secara gamblang Yesus menjelaskan bahwa mengasihi Tuhan Allah dan sesama manusia adalah hukum yang paling utama diantara semua hukum yang ada (Markus 12:28-31). Namun pertanyaannya saat ini adalah, apakah kita sudah benar-benar memahami arti dari hukum kasih itu dengan benar sehingga dapat menerapkannya dengan benar pula dalam mengasuh dan mendidik anak-anak kita? Untuk itu, kita perlu terlebih dahulu memahami prinsip hukum kasih ini dengan benar.

     Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kasih bisa diartikan sebagai “perasaan sayang”. Melalui hal ini dapat kita pahami bahwa prinsip kasih seharusnya berlandaskan perasaan sayang. Namun semakin lama, perasaan sayang yang digunakan sebagai landasan prinsip kasih ini seringkali menjadi multitafsir bagi sebagian besar orang.

     Kasih seharusnya menjadi ekspresi rasa sayang yang paling murni untuk manusia, khususnya bagi anak-anak kita. Suatu ekspresi yang dapat dirasakan sekalipun mungkin tidak sering diucapkan secara gamblang. Sesuai yang saya tuliskan sebelumnya, saat ini seringkali orang memahami arti kasih secara keliru.

     Sebagian orang mengatakan jika kasih itu adalah ketika kita tidak marah-marah walaupun kita tahu ada sesuatu yang salah, secara harafiah mengartikan “ditampar pipi kanan dan memberikan pipi kiri” dengan ikhlas, menuruti semua keinginan orang yang kita kasihi tanpa melakukan filter dan tidak mempertimbangkan baik-buruknya untuk orang yang kita kasihi, dan masih banyak contoh lain pengaplikasian hukum kasih secara keliru. Akhirnya, orang melihat kasih sebagai suatu hal yang murahan. Kasih memang diberikan dengan murah alias cuma-cuma, namun bukan murahan.

     Jika kita memahami konsep ajaran Kristus dengan tepat, maka kita akan paham jika hukum kasih yang diajarkan oleh Kristus memiliki sistematika dan kompleksitas cara kerja yang tidak sembarangan. Selama Yesus hidup di dunia ini menjadi manusia, Beliau telah memberikan contoh pengaplikasian hukum kasih dengan amat komprehensif dalam berbagai aspek kehidupan. Setiap tindakan dan keputusan yang diambil-Nya tidak ada satupun yang luput dari prinsip-prinsip Kasih itu sendiri. Padahal jika dipikir-pikir, saat para musuh menekanNya, Yesus bisa mengambil langkah praktis untuk bisa langsung memusnahkan lawan-lawannya hanya dengan satu kali jentikan jari (Matius 26:53).

     Salah satu contohnya adalah saat para ahli Taurat membawa wanita yang berzinah ke hadapan Yesus agar diadili (Yoh. 7:53 – 8:11). Yesus menawarkan sebuah solusi “out of the box” bagi orang-orang yang sebenarnya hendak mengujiNya. Ia mengatakan, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu”. Jika kita telaah lebih dalam, maka akan kita dapati jika solusi yang ditawarkan oleh Yesus sebenarnya tidak hanya menyelamatkan wanita yang berzinah itu saja, namun juga telah menyelamatkan para ahli Taurat dari berbuat dosa dengan membunuh wanita tersebut.

     Selain itu, Yesus sebenarnya juga menegur para ahli Taurat bahwa hukum Taurat bukan berbicara tentang perintah dan larangan semata. Lebih jauh lagi, Yesus mengajak semua orang mengutamakan kasih lebih dulu sebelum Taurat, agar orang-orang memahami esensi dari hukum Taurat itu dijalankan, sehingga hukum Taurat tidak hanya untuk menjadi adat istiadat yang harus dijalankan secara membabi buta tanpa didasari kasih Allah terlebih dahulu.

     Salah satu contoh lainnya adalah ketika Yesus marah saat dia mengetahui pelataran Bait Allah berubah fungsi menjadi tempat berdagang (Mat. 21 12-13). Selama ini, kisah ini sering digunakan untuk menunjukkan jika Yesus-pun bisa marah, sehingga marah adalah hal yang wajar dan biasa. Namun penafsirannya tidak sedangkal itu saja. Pada kisah ini, Yesus ingin mendemonstrasikan betapa besar kasihNya pada Allah Bapa. Yesus melandaskan kemarahannya dengan motivasi hati mengasihi BapaNya, sehingga Dia tidak ingin rumah BapaNya beralih fungsi dari tempat penyembahan menjadi tempat perdagangan.

     Seperti yang kita ketahui, Yesus selalu berusaha menunjukkan kasih dan cintaNya yang besar kepada Allah Bapa di surga. Bapak/Ibu, menurut salah satu ayat di kitab Mazmur, cinta itu kuat seperti maut. Orang rela melakukan apapun bahkan menjadi “gila” demi cinta, namun di tengah kemarahanNya pun Yesus tetap tenang dan terkontrol.

     Dia tetap menunjukkan pengendalian diri dengan tidak menyakiti (penganiayaan atau pembunuhan) orang lain dalam kemarahanNya. Dia hanya membalikkan meja dan bangku tempat berdagang, bukan menyakiti para pedagang yang ada di sana. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kemarahan yang berlandaskan kasih itu bukan memusuhi atau menghancurkan pribadi orangnya, namun berfokus pada perbaikan perilaku orang tersebut yang tidak benar. Lantas, untuk apa Yesus melakukannya dan tidak membiarkan amarahNya membabi buta? Tidak lebih dan tidak kurang, itu karena kasihNya terhadap manusia juga sama besarnya seperti kasihNya kepada Allah Bapa.

     Melalui dua ilustrasi cerita di atas, kita bisa melihat betapa kasih memampukan seseorang untuk berpikir jernih dalam segala kondisi. Kasih tidak hanya menyelamatkan satu orang, namun juga semua orang yang tidak bersinggungan secara langsung. Mari bayangkan bila seluruh dunia ini menerapkan hukum Kasih dengan benar dalam kehidupan sehari-hari. Saya yakin tidak akan pernah ada lagi perselisihan ataupun pertengkaran. Yesus tidak pernah berkata agar kita menjadi pengikutnya, lebih dari itu Yesus ingin kita menjadi muridnya. Seorang pengikut di suatu titik akan merasa kelelahan untuk mengikut, karena dia akan selalu merasa tertuntut. Namun bagi seorang murid, dia akan dengan sadar meneladan gurunya tanpa komplain, karena dia tahu dia membutuhkan bimbingan gurunya.

 

(Students Support Service, Mei 2021)