The way you speak to her is the way she speaks to herself
Mengapa Remaja Mudah Terpengaruh dengan Idola Selebritas?
Trend atau Krisis?
Ada banyak analisa mengapa K-Pop laku di pasaran. Mulai dari model baju, koreografi yang rancak seiring dengan irama lagu, tema cerita yang katanya super romantic sampai urusan perwajahan yang dibilang unyu-unyu. Benar tidaknya berpulang pada masing-masing pribadi. Sebab dalam konteks ini, akan menjadi persoalan yang tidak mudah untuk memisahkan antara benar-benar bagus atau sekadar kagum pada para pemainnya.
Tidak sedikit generasi muda Korea benar-benar terobsesi ingin sekeren selebritasnya. Mulai dari mengubah tampilan pakaian, warna rambut, sampai yang paling ekstrim melakukan modifikasi bentuk tubuh dan wajah melalui operasi plastik. Beragam tindakan yang bermula dari keinginan menjadi sama justru dikhawatirkan akan berdampak buruk. Terjadi krisis identitas diri sebab bagaimanapun usahanya, mereka tidak akan menjadi seideal yang dibayangkan. Akibatnya remaja mengalami depresi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Remaja Indonesia tergolong gandrung K-Pop. Media online, Tribun, Kamis 19 Mei 2022, “Tampak fans memenuhi beberapa ruangan di bandara. Mereka berlarian mengejar NCT Dream yang dikabarkan mendarat. Bukan cuma satu dua fans tapi ratusan. Saking antusiasnya, mereka sampai berlarian tak peduli sekitarnya. Ada yang menginjak rumput di sekitar bandara juga”. Histeria penggemar K-Pop bukan hanya menimbulkan keprihatinan dan kecemasan sosial.
Bagaimana tidak cemas?! Hanya demi memuaskan rasa penasaran, para remaja seolah abai hal-hal yang mestinya dijaga. Antusiasme juga tercermin dari bagaimana mereka berpenampilan. Pakaian berwarna kalem, modis dan cantik saat dikenakan membuat remaja Indonesia makin ingin seperti para selebritasnya. Korea Fashion style hadir dalam bentuk e-commerce yang menghadirkan OOTD style agar tidak repot mix and match baju yang pas.
Remaja penggemar drakor terkadang membawa kata-kata yang dalam percakapan supaya ‘kekorea-koreaan’ semacam daebak (wow, hebat), kol (setuju), kamsahamnida (terimakasih), aigo (ya ampun) saranghae (aku cinta kamu, dan lain-lain. Sesuai atau tidak dengan konteks, urusan belakang.
Yang terkadang menggelikan, munculnya rasa memiliki berlebihan, sampai marah atau sedih ketika sang idola menikah di dunia nyata. Ada remaja yang memutuskan untuk ‘pindah ke lain hati’ alias memilih selebritas lain yang masih jomblo sebagai idola baru.
Remaja: mengidolakan atau memuja?
Pemujaan selebiriti cenderung terjadi pada kalangan remaja. Mengapa? Masa remaja merupakan tahapan dimana individu mencari dan menemukan identitas dirinya. Dalam tahap ini remaja akan mencari sosok yang dapat dijadikan role model. Tidak jarang dari pengidolaan itu remaja mudah terobsesi pada tokoh kesayangan dan memujanya secara berlebihan.
Di sisi lain, selebiritas adalah kalangan yang mempunyai kesempatan besar memengaruhi masyarakat melalui beragam tayangan. Praktis, dengan kemajuan teknologi remaja akan mudah menemukan alternatif role model dari kalangan selebiritas. Seorang penggiat psikologi, mengungkapkan salah satu alasan mengapa selama pandemi covid-19, sebagian remaja Indonesia semakin menyukai para idola K-pop adalah karena munculnya perasaan dekat dengan sang idola, meski hanya dari media sosial. Namun menjadi bermasalah ketika remaja yang mengidolakan selebritas justru bergeser ke arah pemujaan.
Pemujaan selebritas merupakan gambaran perilaku obsesif individu terhadap idolanya. Pemujaan selebritas tergolong jenis gangguan obsesif-adiftif, khususnya ketika individu tersebut terlalu terlibat dan tertarik pada idolanya. Dengan kata lain, pelaku benar-benar terobsesi detail dengan kehidupan selebritas tersebut. Berdasarkan intensinya, ada 3 (tiga) pola pemujaan selebritas.
Pertama, entertaiment social. Penggemar tertarik karena selebritas dinilai dapat menghibur dan menjadi pusat fokus sosial. Kedua, Intense Personal. Penggemar memiliki empati yang tinggi terhadap idolanya. Contohnya, penggemar ikut merasakan kesedihan atau kebahagiaan sang idola.
Ketiga Borderline Pathological. Penggemar menampilkan perilaku yang tidak terkendali dan mulai
mengembangkan fantasi terhadap idolanya. Misalnya, penggemar bisa punya perasaan sayang kepada sang idola, sebaliknya dia juga yakin bahwa idolanya punya perasaan yang sama terhadap dirinya. Bahkan pada taraf tertentu timbul keyakinan bahagia bila hidup bersama dengan sang idola.
Intensitas yang dimaksud terjadinya berjenjang dan sangat mungkin dimulai dari hal-hal sederhana, mengidolakan sampai kemudian berhalusinasi hidup bersama pujaannya. Artinya, dengan memerhatikan tahapan intensitas, orangtua bisa melakulan pencegahan atas perubahan perilaku remaja; sekaligus refleksi diri terkait dengan kehadiran dan perannya sebagai orangtua.
Bagaimana Peran Orangtua?
Merujuk pada kekhasan kebutuhan sesuai dengan tahapan usia perkembangan, remaja masih tergolong labil dalam menentukan identitas dirinya. Wajar bila remaja mudah terpengaruh lingkungannya. Maka kehadiran dan pendampingan orangtua sangat diperlukan. Apalagi tahapan ini menjadi peletak dasar pembentukan pribadi remaja sebagai seorang pemuda yang mandiri.
Sikap obsesif remaja terhadap idola, bermula dari kebiasaan sehari-hari yang kurang pengawasan dan ketidakmampuan orangtua menyediakan diri sebagai model. Dua faktor ini menyebabkan remaja mencari tokoh di luar keluarga untuk dijadikan idola. Kesediaan orangtua menjadi role model menegaskan peran orangtua, baik kualitas maupun kuantitas dari sisi waktu.
Orang dewasa sering berdalih, meski tidak banyak waktu (kuantitas) yang penting kualitasnya. Pendapat ini benar, namun tidak sepenuhnya benar. Mengapa? Remaja membutuhkan proses modeling melalui konsistensi kehadiran orangtua, baik sebagai pribadi maupun sahabat bagi anaknya, sehingga mereka mampu menjadi baik.
Bagaimana orangtua menjadi model, bila secara kuantitas jumlahnya terbatas. Remaja bukanlah orang dewasa dengan tubuh kecilnya, yang seolah secara instant bisa berkarakter mulia dan berkepribadian tangguh. Kehadiran yang cukup tapi konsisten memberi peluang besar bagi orangtua menjadikan dirinya role model yang baik.
Sebaliknya, jangan pernah berharap mempunyai kualitas waktu yang baik dengan anak, bila secara kehadiran sangat kurang. Kesempatan yang dimiliki cenderung digunakan untuk istirahat, seolah tanpa mau diusik dengan urusan remaja. Alhasil, percakapan yang dibangun kurang dalam dan tidak menyentuh kebutuhan mereka sebagai remaja. Wajar percakapan yang ada sekadar laporan.
Remaja membutuhkan keduanya, kuantitas dan kualitas waktu orangtua. Percakapan sederhana yang rutin akan menjadi pintu masuk bagi remaja merasa nyaman menceritakan pergumulannya. Kesediaan orangtua mendengar dan memberi tanggapan menjadi cara terbaik memberi contoh bagaimana menjadi pribadi yang tenang dan matang.
Gunakan waktu sesering mungkin untuk diskusi, ngafe dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. Ortu berkesempatan menceritakan bagaimana perjalanan kehidupan mereka dulu sebagai remaja; atau beri kesempatan mereka bertanya apapun tentang diri kita supaya mereka bisa belajar dan mengidolakan orangtuanya.
Kesediaan orangtua memberi waktu terbaik akan menjadi pengalaman yang membangun spiritualitas remaja tentang Tuhan. Bagaimana remaja bisa percaya Tuhan yang tidak terlihat sebagai Realitas yang ada, bila orangtua yang harusnya ada justru jarang ada buat dirinya?! Bagaimana remaja dapat diyakinkan bahwa Tuhan yang tidak terlihat sesungguhnya bisa diandalkan, bila orangtua yang dilihatnya dan yang harusnya ada justru sering absen karena kesibukan?!
Yang dibutuhkan bukan hanya kehadiran, tapi kesediaan menjadi orangtua yang menjalankan perannya bagi remaja. Sebab menjadi orangtua adalah hak istimewa yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Mulailah dari sekarang melalui setiap hal baik yang maksimal mampu kita lakukan sebagai orangtua. Memberi waktu dan hati mendengar kehidupan remaja akan menjadi jalan masuk bagi mereka mengidolakan Tuhan yang orangtuanya percayai. Tidak ada kata terlambat untuk memulai.
(Students Support Service, September 2022)